Pentingnya Sifat Malu Bagi Seorang Muslim

Pentingnya Sifat Malu Bagi Seorang Muslim

Segala puji bagi Allah Subhânahu Wa Ta’âla, sholawat dan salam kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam, dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Wa Ba’du:

Sesungguhnya di antara sifat terpuji yang diseru oleh syara’ adalah sifat malu. Allah Subhânahu Wa Ta’âla berfirman tentang Nabi Musa alaihis salam pada saat beliau membantu memberikan minum bagi kedua orang wanita:
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". QS. Al-Qoshos: 25.
Dari sa’id bin Zaid RadhiAllahu'anhu bahwa seorang lelaki berkata: Wahai Rasulullah berilah aku wasiat. Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda: "Aku berwasiat kepadamu agar kamu malu kepada Allah sebagaimana engkau malu kepada seorang lelaki shaleh dari kaummu”. Al-Zuhd, Imam Ahmad hal: 46 dan Al-Syu’ab karangan Al-Baihaqi : 6/145-146 no: 7738
Dari Ibnu Mas’ud Al-badari RadhiAllahu'anhu bahwa sesungguhnya Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya di antara perkataan yang di dapatkan dari nubuwah yang pertama: Apabila engkau tidak malu maka lakukanlah apa saja yang engkau kehendaki”.Shahih Bukhari: 4/113 no: 6120
Hadits ini sebagai dalil yang menunjukkan bahwa malu sebagai perisai bagi seseorang dari tindakan yang bisa memudharatkannya pada agamanya atau merusak akhlak dan muru’ahnya, sebab jika seseorang terlepas dari sifat malu ini maka dia tidak akan menghiraukan apapun keburukan yang dilakukannya.
Dari Abi Hurairah RadhiAllahu'anhu bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda: Iman itu memiliki tujuh puluhan cabang atau enam puluhan cabang, yang paling utama adalah ucapan: لا إله إلا الله (tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya selain Allah) dan yang paling rendah adalah menghilangkan gangguan dari jalan dan iman adalah satu bagian dari cabang tersebut”. Shahih Bukhari: 1/20 no: 9 dan shahih Muslim: 1/63 no: 35
Bangsa Arab pada masa jahiliyah menghiasi diri mereka dengan sifat malu ini. Abu Sufyan, sebelum keislamannya pada saat dia berhadapan dengan Heraklius, Raja Romawi untuk bertanya kepadanya tentang Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam maka dia memberitahukan tentang diri pribadinya: Seandainya bukan karena rasa malu terhadap perasaan bahwa mereka mendapatiku berdusta maka aku pasti berbohong kepadanya”.

Ibnul Qoyyim rohimahullah berkata:
Dan akhlak malu ini termasuk akhlak yang paling baik mulia, agung, lebih banyak manfaatanya, sifat ini merupakan sifat khusus bagi kemanusiaan, maka orang yang tidak memiliki rasa malu berarti tidak ada bagi dirinya sifat kemanusiaan kecuali dagingnya, darahnya dan bentuk fisiknya. Selain itu, dia tidak memiliki kebaikan apapun, dan kalaulah bukan karena sifat ini, yaitu rasa malu maka tamu tidak akan dihormati, janji tidak ditepati, amanah tidak ditunaikan dan kebutuhan seseorang tidak akan pernah terpenuhi, serta seseorang tidak akan berusaha mencari sifat-sifat yang baik untuk dikerjakan dan sifat-sifat yang buruk untuk dijauhi, aurat tidak akan ditutup dan seseorang tidak akan tercegah dari perbuatan mesum, sebab faktor utama yang mendorong seseorang melakukan hal ini baik faktor agama, yaitu dengan mengharapkan balasan dan akibat yang baik (dari sifat yang mulia ini) atau faktor duniawi yaitu perasaan malu orang yang melakukan keburukan terhadap sesama makhluk. Sungguh telah jelas bahwa kalaulah bukan karena rasa malu terhadap Allah, Al-Khalik dan sesama makhluk maka pelakunya kebaikan tidak akan pernah tersentuh dan keburukan tidak akan pernah dijauhi…..dan setererusnya”. Diringkas dari kitab darus sa’adah, Ibnul Qoyyim halaman: 277 di ambil dari kitab: Nudhratun Na’im: 5/1802.
Umar RadhiAllahu'anhu berkata: Barangsiapa yang rasa malunya sedikit maka sifat waro’nyapun berkurang dan barangsiapa yang sifat waro’nya berkurang maka hatinya pasti akan mati”. Makarimil Akhlaq, Ibnu Abid Dunya hal: 82-83 no: 93.
Dari Abdillah bin Amr bin Ash RadhiAllahu'anhu berkata: Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam melewati seorang lelaki dari kaum Anshor dan dia sedang menasehati saudaranya tentang sifat malu, maka Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda: Biarkanlah dia sebab sifat malu adalah bagian dari iman”. Shahih Bukhari: 1/24 no: 24 da shahih Muslim: 1/63 no: 36.
Seorang penyair berkata:
Apabila engkau tidak takut akibat yang terjadi pada waktu malam Dan tidak malu maka perbuatlah segala apa yang engkau kehendaki Demi Allah! tiada kebaikan yang bisa diharap dalam kehidupan ini dan tiada pula manfaat bagi dunia ini apabila sifat malu telah sirna. Seseorang tetap hidup dalam kebaikan selama dia memiliki rasa malu dan tangkai tetap tegak selama kulit yang melapisinya masih menetap.
Ibnul Qoyyim Rahimahullah berkata:
Salah akibat kemaksiatan adalah hilangnya rasa malu sebagai unsur utama hidupnya hati, dia adalah pondasi setiap kebaikan, maka menghilangnya rasa malu dari seseorang berarti sirnanya seluruh kebaikan. 
Disebutkan di dalam hadits yang shahih:
"Rasa malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan”. Shahih Bukhari: 4/113 no: 6117 dan shahih Muslim: 1 no: 263 no: 37
Maksudnya adalah dosa-dosa akan melemahkan rasa malu seorang hamba bahkan akan menghilangkannya secara keseluruhan, bahkan terkadang dia tidak merasakan adanya pandangan dan pengetahuan manusia terhadap kondisi dan keadaannya yang buruk, selain itu banyak orang yang justru asyik menceritakan keburukan dirinya dan kebusukan apa yang telah diperbuatnya. Faktor utama yang mendorongnya berbuat demikian adalah sirnanya rasa malu. Lalu pada saat seseorang telah sampai pada tingkat ini maka kebaikan tidak bisa diharapkan dari dirinya, dan barangsiapa yang malu bermaksiat kepada Allah maka Allah-pun malu menyiksanya pada hari dirinya menghadap kepada Allah dan barangsiapa yang tidak malu bermaksiat kepada Allah maka Allah tidak malu menimpakan siksa atas dirinya”. Al-Jawabul Kafi liman sa’ala anid dawa’I syafi: 61-62.
Contohnya adalah orang yang bepergian ke luar negeri hanya untuk mencari kesenangan dan syahwat, lalu salah seorang di antara mereka bangga menceritakan kebinalan yang pernah dilakukannya dari minum khamar dan berbuat zina atau kemaksiatan yang lainnya.
Dari Abi Hurairah RadhiAllahu'anhu bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda: "Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang menampakkan kemaksiatannya, termasuk menampakkan kemaksiatan adalah bahwa seseorang berbuat mesum pada waktu malamnya lalu pada waktu paginya padahal Allah telah menutupi kemaksiatannya, namun dia mengatakan: Wahai fulan tadi malam aku telah berbuat ini dan ini, kemaksiatannya telah ditutupi oleh Allah lalu pada waktu pagi dia menyingkap apa yang telah disembunyikan oleh Allah”. Shahih Bukhari: 4/104 no: 6069 dan shahih Muslim: 4/2298 no: 2990.
Mereka ini mendapatkan bagian dari apa yang disebutkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui. QS. Al-Nur: 19.
Ada sebuah perkara yang mesti diperhatikan, yaitu meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar tidak termasuk bagian dari sifat malu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. QS. Al-Ahzab: 53.
Imam Nawawi Rahimahullah berkata:
Terkadang orang merasa bingung, di mana seseorang yang pemalu merasa malu mengarahkan orang yang dihormatinya kepada kebenaran, sehingga akhirnya dia meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar, terkadang rasa malu membawanya untuk meninggalkan beberapa haknya. Maka jawaban terhadap perkara ini adalah apa yang telah diungkapkan oleh para ulama, seperti Abu Amr bin Ashalah bahwa perkara ini tidak termasuk di dalam kategori malu, bahkan dia termasuk kelemahan dan kehinaan serta kehancuran. Sebab malu yang sebenarnya adalah sebuah sifat baik yang mendorong seseorang meninggalkan perbuatan buruk dan mencegah seseorang dari melalaikan hak orang lain”. Syarah shahih Muslim: 1/5-6.
Dan Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam telah menganjurkan amar ma’ruf nahi mungkar dan memerintahkan untuk merubahnya. Dari Abi Sa’id Al-Khudri RadhiAllahu'anhu bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendakalah dia merubahnya dengan tangannya, dan jika dia tidak mampu maka hendaklah dia merubahnya dengan lisannya dan apabila dia tidak mampu maka hendaklah dia merubahnya dengan hatinya dan itulah selemah-lemah keimanan”. Shahih Muslim: 1/69 no: 49.
Segala puji bagi Allah Subhânahu Wa Ta’âla Tuhan semesta alam, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam dan kepada seluruh keluarga dan shahabatnya.

Berlangganan update artikel terbaru via email:


2 Responses to "Pentingnya Sifat Malu Bagi Seorang Muslim"

Jika ada kata yang salah mohon di koreksi