Inilah Ilmu Pembersih Hati

Ilmu Pembersih Hati


‘Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat’ (QS al-Mujaadilah [58]: 11)

Ada sebait doa yang pernah diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan disunnahkan untuk dipanjatkan kepada Azza wa Jalla sebelum seseorang hendak belajar. Doa itu berbunyi: Allaahumanfa’nii bima ‘allamtani wa ‘allimnii maa yanfa’unii wa zidni ‘ilman maa yanfa’unii. Dengan doa ini seorang hamba berharap dikaruniai ilmu yang bermanfaat oleh Dia, Dzat Maha Pemberi Ilmu.

Apakah hakikat ilmu yang bermanfaat itu? Secara syariat, suatu ilmu disebut bermanfaat apabila mengandung maslahat, memiliki nilai-nilai kebaikan bagi sesama manusia ataupun alam. Akan tetapi, manfaat tersebut menjadi kecil artinya bila ternyata tidak membuat pemiliknya semakin merasakan kedekatan kepada Allah. Dengan ilmunya, ia mungkin meningkat derajat kemuliaannya di mata manusia, tetapi belum tentu meningkat pula di hadapan-Nya.

Oleh karena itu, dalam kaca mata ma’rifat, gambaran ilmu yang bermanfaat itu sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh seorang ahli hikmah, “Ilmu yang berguna,” ungkapnya, “ialah yang meluas dalam dada sinar cahayanya dan membuka penutup hati.” Seakan memperjelas ungkapan ahli hikmah tersebut, Imam Maliki bin Anas Radhiyallahu ‘anhu berkata, “yang bernama ilmu itu bukanlah kepandaian atau banyak meriwayatkan (sesuatu), melainkan hanyalah nuur yang diturunkan Allah ke dalam hati manusia. Adapun bergunanya ilmu itu adalah untuk mendekatkan manusia kepada Allah dan menjauhkannya dari kesombongan diri.”

Ilmu itu hakikatnya adalah kalimat-kalimat Allah Azza wa Jalla. Terhadap ilmu-Nya sungguh tak akan pernah ada satu pun makhluk di jagat raya ini yang bisa mengukur Kemahaluasannya. “Katakanlah, ‘Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menuliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (dituliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)‘,” demikian firmannya (QS al-Kahfi[18]: 109)

Firman-Nya pula, “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi perna dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS Luqman[31]: 27).

Adapun ilmu yang dititipkan kepada manusia mungkin tidak lebih dari setitik air di tengah samudera luas. Kendatipun demikian, barangsiapa yang dikaruniai ilmu oleh Allah, yang dengan ilmu tersebut semakin bertambah dekat dan kian takutlah ia kepada-Nya, niscaya “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS al-Mujaadilah [58]: 11). Sungguh, janji Allah itu tidak akan pernah meleset sedikit pun!

Akan tetapi, ternyata walaupun hanya “setetes” ilmu Allah yang dititipkan kepada manusia, namun alangkah banyak ragamnya. Segala macam ilmu itu baik kita kaji sepanjang bisa membuat kita semakin takut kepada Allah. Inilah ilmu yang paling barokah yang harus kita cari. Sepanjang kita menuntut ilmu itu jelas (benar) niat maupun caranya, niscaya kita akan mendapatkan manfaat darinya.

Hal berikutnya yang hendak kita kaji dengan seksama adalah bagaimana caranya agar kita dapat memperoleh ilmu yang sinar cahayanya dapat meluas dalam dada serta dapat membuka penutup hati? Imam Syafi’i ketika masih menuntut ilmu, pernah mengeluh kepada gurunya. Kata beliau, “Wahai, Guru. Mengapa ilmu yang sedang kukaji ini susah sekali memahaminya dan bahkan cepat lupa?” Sang guru menjawab, “Ilmu itu ibarat cahaya. Ia hanya dapat menerangi gelas yang bening dan bersih.” Artinya, ilmu itu tidak akan menerangi hati yang keruh dan banyak maksiatnya.

karenanya, jangan heran kalau kita dapati orang yang rajin mendatangi majelis-majelis ta’lim dan pengajian, tetapi akhlak dan perilakunya tetap buruk. Mengapa demikian? Itu dikarenakan hatinya tidak dapat terterangi oleh ilmu. Laksana air kopi yang kental dalam gelas yang kotor. Kendati diterangi dengan cahaya sekuat apapun, sinarnya tidak akan bisa menembus dan menerangi isi gelas. Begitulah kalau kita sudah tamak dan rakus terhadap segala hal yang berbau duniawi serta gemar berbuat maksiat, maka sang ilmu tidak akan pernah mampu menerangi isi hati.

Padahal kalau hati kita bersih, ia ibarat gelas yang bersih diisi dengan air yang bening. Setitik cahaya pun akan mampu menerangi seisi gelas. Walhasil, bila kita menginginkan ilmu yang bisa menjadi ladang amal saleh, maka usahakanlah ketika menimbanya hati kita selalu keadaan bersih. Hati yang bersih adalah hati yang terbebas dari ketamakan terhadap urusan duniawi dan tidak pernah digunakan untuk menzalimi sesama. Semakin bersih hati, akan semakin dipekakan oleh Allah untuk bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat dari manapun ilmu itu datangnya. Di samping itu, kita pun akan diberi kesanggupan untuk menolak segala sesuatu yang akan membawa mudharat.

Sebaik-baik ilmu adalah yang bisa membuat hati kita bercahaya. Karenanya, kita wajib mencari ilmu sekuat-kuatnya yang membuat hati menjadi bersih, sehingga ilmu-ilmu yang lain (yang telah ada dalam dada kita) menjadi bermanfaat.

Bila mendapati air yang kita timba dari sumur tampak keruh, kita akan mencari tawas (kaporit) untuk menjernihkannya. Demikian pula dalam mencari ilmu. Kita harus mencari ilmu yang bisa menjadi “tawas” -nya supaya kalau hati sudah bening, ilmu-ilmu yang lain yang kita kaji bisa diserap seraya membawa manfaat.

Mengapa demikian? Alasannya adalah bahwa dalam mengkaji ilmu apapun, kalau kita sebagai penampungnya dalam keadaan kotor dan keruh, maka tidak bisa tidak, ilmu yang didapatkan hanya akan menjadi alat pemuas nafsu belaka. Sibuk mengkaji ilmu fiqih, hanya akan kita ingin menang sendiri, gemar menyalahkan pendapat orang lain, sekaligus aniaya dan suka menyakiti hati sesama. Demikian juga bila mendalami ilmu ma’rifat, misalhnya. Sekiranya dalam keadaan hati busuk, jangan heran kalau hanya membuat diri kita takabur, merasa diri paling saleh, dan menganggap orang lain sesat.

Oleh karena itu, tampaknya menjadi fardhu ‘ain hukumnya untuk mengkaji ilmu kesucian hati dalam rangka ma’rifat, mengenal Allah. Datangilah majelis pengajian yang di dalamnya kita dibimbing untuk ber-riyadhah, berlatih mengenal dan berdekat-dekat dengan Allah Azza wa Jalla. Kita selalu dibimbing untuk banyak berdzikir, mengingat Allah, dan mengenal kebesaran-Nya, sehingga sadar akan betapa teramat kecilnya diri ini di hadapan-Nya.

Kita lahir ke dunia tidak membawa apa-apa dan bila datang saat ajal pun pastilah tidak akan membawa apa-apa. Mengapa lalu harus ujub, riya, sum’ah, dan takabur. Merasa diri besar, sedangkan yang lain kecil. Merasa diri lebih pintar sedangkan yang lain bodoh. Itu semua hanya karena sepersekian dari setetes ilmu yang kita miliki! Padahal, bukanlah ilmu yang kita miliki pada hakekatnya adalah titipan Allah jua, yang sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mengambilnya kembali dari diri kita?

Subhanallah! Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh-Nya untuk mendapatkan ilmu yang bisa menjadi penerang dalam kegelapan dan menjadi jalan untuk dapat lebih ber-taqarrub kepada-Nya.

[Bening Hati, K.H. Abdullah Gymnastiar & Basyar Isya]

Berlangganan update artikel terbaru via email:


0 Komentar untuk "Inilah Ilmu Pembersih Hati"

Post a Comment

Jika ada kata yang salah mohon di koreksi